TENTANG DIMENSI WANITA
"Hanya tawa dan senyum Aphrodite yang membuat dunia ini terasa lebih indah."-
el sabor de la belleza (cita rasa keindahan).
Bisa dibayangkan jika dunia ini tanpa wanita. Mungkin akan seperti dahan pohon
tanpa pucuk dedaunan, atau seperti taman tanpa hiasan bunga-bunga yang merona,
sebuah ornamen keindahan yang menghilang. Semua akan terlihat begitu gersang
dan tandus.
Wanita melintas zaman, menggores kisah penuh pesona, keanggunan, hingga
kepedihan. Zaman dulu, wanita pernah menjadi kaum kelas dua. Keindahan mereka
hanya menjadi bahan eksploitasi, sebagai hiburan semata bagi kaum laki-laki.
Ini hampir terjadi di semua belahan dunia. Bahkan, hingga kini di sejumlah
tempat di belahan dunia ini, nasib wanita masih juga belum berubah.
Dulu wanita seolah tidak pernah menjadi perhatian. Dunia sepertinya hanya milik
laki-laki, sementara wanita ditempatkan di balik-balik pintu, di bilik-bilik
kamar, di belakang rumah yang tugasnya semata melayani laki-laki. Kalaupun ada
wanita yang mencoba bersaing dengan laki-laki, dalam hal prestasi, karir,
kepemimpinan dan lainnya, lingkungan sosial buru-buru mencapnya dengan tuduhan
yang merendahkan. Bahkan dulu, dalam sebuah tradisi masyarakat tertentu, ada bayi
wanita yang baru lahir segera dibunuhi karena dianggap tiada guna.
Pandangan dunia yang timpang terhadap wanita ini lambat laun berubah. Hal ini
tidak terlepas dari perkembangan gerakan feminisme yang dipelopori Mary
Wollstonecraft dengan bukunya “A Vindication of The Right of Women” (1779).
Maka kemudian muncul sebuah disiplin yang memfokuskan perhatian terhadap
wanita. Sosiologi wanita, sebuah disiplin yang membongkar perspektif menyeluruh
tentang keanekaragaman pengalaman yang terstruktur bagi kaum wanita. Disiplin
ini mendefinisikan sosiologi wanita dalam arti pola-pola ketidakadilan yang
terstruktur khususnya kerangka stratifikasi jender.
Di samping itu, secara eksplisit berkembang pengintegrasian penelitian yang
progresif mengenai peran jender dari disiplin sosiologi. Bidang kajian ini
tentu bergerak ke arah penilaian sistematis tentang seluruh wanita, termasuk
wanita kulit berwarna, wanita kelas pekerja, wanita segala usia, dan
sebagainya.
Apabila dilihat dari perspektif teori sosiologi wanita, maka terdiri setidaknya
tiga kelompok kontributor pemikiran sosiologi utama yang terpilih:
Pertama, kelompok teoretisi positivis/fungsionalis, yang menegaskan bahwa
tatanan “alamiah” dominasi laki-laki sebagai suatu perbedaan terhadap
argumen-argumen mengenai “hak-hak” kaum wanita. August Comte percaya bahwa
wanita “secara konstitusional” bersifat inferior terhadap laki-laki, karena
kedewasaan mereka sebetulnya berakhir pada masa kanak-kanak. Oleh karena itu,
Comte percaya bahwa wanita menjadi subordinat laki-laki manakala dia menikah.
Kedua, kelompok para teoretisi konflik, yang melukiskan sistem-sistem
penindasan yang secara sistematis membatasi kaum wanita. Karl Marx misalnya,
melihat masyarakat secara konstan berubah komposisinya; kekuatan-kekuatan
anti-tesis menyebabkan perubahan sosial melalui ketegangan-ketegangan dan
perjuangan antarkelas yang bertentangan. Karena itu, kemajuan sosial, diisi
oleh perjuangan dan upaya keras yang membuat konflik sosial menjadi inti dari
proses sejarah. Di sinilah Marx menulis mengenai eksploitasi tenaga kerja yang
menimbulkan alienasi dan pembentukan kelas yang saling berlawanan. Dalam
Tulisan Marx dan Engels (1970) mereka menulis tentang wanita, sebagai alat
produksi sebagai berikut:
“Tetapi komunis akan memasukkan komunitas wanita, mengutuk semua borjuis secara
serempak. Seorang borjuis melihat istrinya sebagai alat produksi belaka. Ia
mendengar bahwa alat-alat produksi biasanya dieksploitasi; dan tentu saja tidak
ada kesimpulan lain, apa yang biasa terjadi pada kebanyakan alat produksi,
menimpa pula pada kaum wanita. Ia tidak pernah menyangsikan bahwa tujuan
sesungguhnya adalah menjauhkan status wanita sebagai alat produksi belaka.”
Kelompok ketiga, adalah kelompok alternatif, yakni kelompok aktivis “karya sosial
dan interaksionis”. Kelompok ini dipimpin Jane Addams yang bermukim di sebuah
pemukiman kumuh di Chicago West Side dari tahun 1800-an dan awal 1900-an
(Addams, 1910). Yang membuka Hull House pada tahun 1889, membuka Universitas
Chicago tahun 1892. Model pemukiman itu menurut Deegan (1988: 6) adalah
egalitarian, dominasi kewanitaan, dan pragmatis.
Jaringan kerja para aktivis sosial dan akademikus yang sering mengunjungi Hull
House, termasuk John Dewey dan George Herbert Mead, banyak memberikan kontribusi
pada perkembangan pragmatisme Chicago yang menggabungkan ilmu pengetahauan
obyektif pengamatan dengan isu-isu etik dan moral untuk menghasilkan suatu
masyarakat adil dan bebas. Wanita pun pada akhirnya mulai mendapatkan ruang dan
dapat berkompetisi secara terbuka dengan kaum lelaki.
Jika diklasifikasi feminisme dapat dibagi ke dalam banyak bagian yaitu:
Feminisme Liberal yang menekankan pada dua hal penting; pertama, bahwa keadilan
gender menuntut kita untuk membuat aturan permainan yang adil. Kedua, untuk
memastikan tidak satu pun dari kontestasi kebaikan dan pelayanan masyarakat
yang dirugikan secara sistematis, keadilan gender tidak menuntut untuk
memberikan hadiah bagi pemenang dan hukuman bagi yang kalah.
Kemudian Feminis Radikal yang berfokus pada seks, gender, dan reproduksi
sebagai lokus perkembangan pemikiran feminis. Feminis kelompok ini, terbagi
menjadi dua, yaitu kelompok androgini yang menekankan pada semua jenis hubungan
seks (heteroseksual, lesbian atau otoerotik) dan memandang teknologi baru
pembantu reproduksi dan teknologi lama pengendali reproduksi sebagai anugerah
mutlak bagi perempuan. Sebaliknya, feminis radikal yang lain menolak androgini.
Feminisme Marxis dan Sosialis mengklaim bahwa tidaklah mungkin bagi setiap
orang, terutama perempuan, untuk mencapai kebebasan yang sejati dalam
masyarakat yang berdasarkan kelas, masyarakat yang kekayaannya dihasilkan oleh
yang tidak berkekuasaan (yang jumlahnya banyak) berakhir di tangan yang
berkekuasaan (yang jumlahnya sedikit).
Feminisme Eksistensialisme memandang manusia khususnya perempuan sebagai suatu
yang tinggi, dan keberadaannya itu selalu ditentukan oleh dirinya, perempuan
yang dapat bereksistensi yang sadar akan dirinya dan tahu bagaimana cara
menempatkan diri.
Lalu Feminisme Posmodern mengklaim bahwa ke-liyanan (otherness) perempuan
memungkinkan individu perempuan untuk mundur dan kemudian mengkritisi norma,
nilai, dan praktik-praktik yang dipaksakan oleh kebudayaan laki-laki yang
dominan (patriarki) terhadap semua orang, terutama mereka yang berada di
pinggiran.
Feminisme Multikultural dan Global setuju dengan Feminisme Posmodern bahwa yang
disebut “diri” adalah terpecah (fragmented) atau paling tidak terbagi. Meskipun
demikian, bagi Feminis Multikultural dan Global, akar dari fragmentasi ini
lebih bersifat kultural dan nasional daripada seksual dan sastrawi.
Kelompok Ekofeminisme menawarkan konsepsi yang paling luas dan paling menuntut
hubungan “diri” dengan yang lain. Menurut kelompok ini, kita berhubungan bukan
saja dengan satu sama lain, tetapi juga dengan dunia bukan manusia: binatang
bahkan tumbuhan.
Psikologi Wanita
Wanita adalah sosok yang unik, kuat namun secara umum menampakkan kelemah
lembutan. Dia bisa kelihatan sangat lembut, namun di balik kelembutannya ada kekuatan
yang dalam, yang seringkali laki-laki tidak dapat menerkanya.
Dalam kajian psikologi wanita disebutkan setidaknya ada tujuh hal yang dapat
membentuk tipe-tipe karakter seorang wanita, yakni: Social Progamming, yaitu
hal yang diajarkan dari keluarga dan masyarakat yang membentuk kepribadian
wanita secara mendasar. Social Pressure, adalah ketakutan wanita akan apa yang
orang lain pikirkan tentang tindakan yang wanita lakukan. Culture (Budaya),
yaitu budaya yang tidak mengizinkan seorang perempuan memiliki pria dari budaya
lain. Budaya juga menentukan trend, selera dan kelas tertentu, contohnya orang
Asia lebih tertutup dibanding orang bule. Personal (Ego), ego kadang-kadang
bertolak belakang dengan hal yang sebenarnya diinginkan perempuan. Ego juga bisa
disebut sebagai gengsi dan banyak sekali perempuan yang gengsinya sangat besar.
Misalnya, si wanita suka dan tertarik dengan seorang pria, tetapi karena gengsi
perempuan itu, dia akan menjauh dari pria yang disukainya.
Berikutnya adalah Physical Barrier atau Preferensi Panca Indera, maksudnya
dengan preferensi panca inderanya seorang perempuan pasti suka melihat pria
ganteng, dan banyak pria yang tidak merasa ganteng menjadi putus asa padahal
masalah ganteng atau tidak itu hanya preferensi panca indera belaka, yang pada
akhirnya tidak berpengaruh banyak untuk membuat seorang perempuan menjadi
tertarik. Lalu Logical Barrier, adalah pembentukan karakter yang mementingkan
nalar serta alasan yang logis, misalnya soal matre apa tidak, pinter apa tidak
si lelaki dan sebagainya. Terakhir, Emotional Barrier, emosi adalah zat adiktif
yang dapat membuat wanita mempunyai keterikatan.
Single Aphrodite, The Beauty of Independent Women, dalam perspektif 69,
melengkapi perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Di mana dalam setiap
langkah, dalam perjalanan akan banyak dinamika, di mana sosok wanita single
yang mapan secara finansial dan memiliki fisik yang menawan bisa menjadi
anugerah ataupun malapetaka. Sebuah sisi yang bertolak belakang. Anugerah,
sebab tidak semua wanita yang memiliki kemapanan finansial dan di anugerahi
fisik yang menawan. Sehingga bisa mendatangkan malapetaka saat dimensi yang
kosong itu harus diisi atau di dekati hanya dengan melihat finansial dan fisik
semata.
Saat ketulusan semakin menjauh, dikarenakan kemunafikan semakin banyak
mendekat. Maka bukalah mata untuk melihat yang jauh. Siapkan daun telinga untuk
mendengar lebih dekat. Mulailah menghirup dari kedua lubang hidung bau yang
akan tercium, selaraskan hati dan pikiran dalam setiap tindakan dan perbuatan.
Senandung cinta Jalaluddin Rumi, untuk melihat realitas cinta. Dengan membuka
tabir penutup mata hati dalam diri kita, lalu Mensucikan diri dimulai dengan
bernafas yang benar, dan penuh kesadaran. Sebab, dengan bernafas dalam
kesadaran kita mensucikan nafas kita. Dalam keheningan, kita menemukan jati
diri kita. Lalu diri kita menemukan sang tercinta.
Semua uraian perspektif tentang wanita, baik secara sosiologis maupun
psikologis tadi, menjadi alasan kenapa buku ini ditulis. Kisah-kisah tentang
wanita, yang kebetulan semuanya masih single, akan tertuang dalam buku ini
sebagai cerminan perspektif sosiologis dan psikologis itu.
Buku “69 Single Woman Aphrodite”, ini merupakan rangkaian pertama dari buku
Women Series. Mengisahkan tentang 69 wanita lajang dengan beragam pilihan
hidup, mulai dari pengusaha, marketing, dosen, desainer, pengacara, atlet,
chef, DJ, model, penulis, penyanyi, politisi, presenter, dan profesi lainnya.
Semua kisah menarik tentang bagaimana para wanita ini memilih serta menggeluti
profesinya, dengan liku-liku yang mereka jalani, untuk mencapai sesuatu bernama
kesuksesan, akan diurai secara mengalir di dalam buku ini.
Tidak hanya soal profesi, karena lebih jauh dari itu, di dalam buku ini pula,
para wanita ini bertutur tentang kisah suka-duka mereka yang dapat
menginspirasi siapa pun yang membacanya. Tergambar jelas, bagaimana sebuah
pilihan hidup akan melahirkan konsekuensi, baik pahit ataupun manis.
Buku ini juga bercerita tentang bagaimana wanita mengaktualisasikan dirinya
serta berinteraksi dengan keluarga dan lingkungan sosialnya. Oleh karenanya,
pembaca seolah diajak ikut menelusuri diorama kisah 69 wanita yang mewakili
dari beragam latar belakang berbeda, baik dari pendidikan, sosial, serta
lingkungannya. Dari mulai wanita biasa yang bisa jadi belum Anda kenal, hingga
publik figur yang biasa menghiasi halaman media cetak serta layar televisi.
Tentu saja buku ini tak hanya penting untuk para pembaca wanita, karena pembaca
pria pun bisa memetik hikmahnya. Agar memahami bagaimana sejatinya
mengapresiasi seorang wanita yang saat ini kedudukannya sudah setara dengan
pria.
Jakarta, 01 Desember 2013
Aranda Ara